Di antara gang-gang sempit kawasan Peneleh, Surabaya, Jawa Timur berdiri kokoh Masjid Jami atau masjid raya.
Masjid ini tak hanya memesona dengan arsitektur klasiknya, tapi juga menyimpan sejarah penyebaran Islam di Jawa Timur.
Masjid ini disebut dibangun Raden Rahmat atau yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel pada abad ke-15–sejumlah literatur menulisnya pada 1421– saat masih menetap di Peneleh.
Masjid Jami yang terletak di Jalan Gang Peneleh V, Peneleh, Genteng, Surabaya, ini juga menjadi saksi bisu perjuangan para tokoh Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya dalam menyokong kemerdekaan Republik Indonesia dari jajahan Belanda.
Jejak Sunan Ampel
“Menurut cerita yang berkembang, Masjid Jami’ didirikan bahkan sebelum Masjid Ampel yang lebih tersohor,” kata Ketua Takmir Masjid Jami’ Peneleh, Muhammad Sofyan, Jumat (1/3).
Hal ini, kata dia, dikuatkan prasasti Mbah Cempo yang menyebutkan keberadaan komunitas Muslim di Peneleh ada lebih dulu sebelum Raden Rahmat hijrah ke daerah Ampel.
“Konon, sebelum Raden Rahmat (Sunan Ampel) ke sana (Ampel), ke sini dulu,” ujarnya.
Mengutip dari buku Yang Silam Jadi Suluh Jadi Suar: Masjid Warisan Budaya di Jawa dan Madura yang diterbitkan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud pada 2018 silam, Masjid Jami Peneleh ini adalah masjid kedua yang dibangun Sunan Ampel.
“Masjid yang dibangun pada abad ke-15 ini masih menyisakan banyak unsur bangunan yang asli–misalkan yang tampak pada tiang-tiang jati yang digunakannya. Masjid ini berada tak jauh dari rumah pemimpin organisasi Sarekat Islam, HOS Tjokroaminoto yang menjadi ‘induk semang’ sekaligus guru bagi tokoh- tokoh pergerakan, antara lain, Sukarno, Kartosuwiryo, dan Muso,” demikian ditulis dalam buku tersebut.
Awalnya masjid itu memang berupa surau atau langgar kecil, lalu dipugar menjadi masjid pada abad ke-18. Sejak itu warga pun menyebutnya sebagai Masjid Jami Peneleh.
Dengan bangunan awal yang sederhana, Masjid Jami menjadi pusat syiar Islam di wilayah Peneleh, Surabaya dan sekitarnya. Hal ini selaras dengan misi dakwah Sunan Ampel yang kala itu berupaya menyebarkan agama Islam dengan pendekatan yang damai dan toleran.
Peneleh memang dikenal sebagai salah satu kampung tua atau kuno di Surabaya. Di kampung yang juga tempat lahirnya Proklamator RI, Sukarno, inilah jejak sejarah ratusan tahun terekam pada artefak-artefak yang hingga kini masih bisa dilihat dari mulai dari makam, masjid, pasar, hingga perkampungan rumah-rumah bersejarah.
Rentang waktunya pun panjang dari mulai masa pra-Islam, masuknya Islam, masa kolonial, pergerakan kemerdekaan, hingga kini di mana Surabaya sebagai salah satu metropolitan Indonesia.
Masjid Jami Peneleh dikenal warga Surabaya dibangun Raden Rahmat atau yang dikenal sebagai Sunan Ampel pada abad ke-15. (CNNIndonesia/Farid)
|
Arsitektur Klasik nan Kokoh
Masjid Jami Peneleh memiliki daya tarik tersendiri dari segi arsitekturnya. Dindingnya bercat warna putih tulang, kemudian terdapat ornamen keramik kecoklatan.
Atapnya berbentuk limas bersusun tiga menyerupai joglo.
Langit-langitnya bertuliskan kaligrafi nama empat sahabat Nabi Muhammad SAW yakni Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Sementara itu, tembok masjid seluas 999 meter persegi ini juga dikelilingi 25 ventilasi dan lima daun jendela berhiaskan aksara arab berupa nama-nama 25 nabi.
Memasuki ruang utama masjid, terdapat 10 tiang-tiang yang tak hanya berfungsi sebagai penopang bangunan, tetapi juga memiliki makna spiritual.
“Tiang-tiang ini dijuluki Soko Guru yang melambangkan 10 malaikat Allah,” imbuh Sofyan.
Keunikan lain masjid ini adalah bentuknya yang seperti kapal terbalik.
Beduk yang dipakai di Masjid Jami Peneleh. (CNN Indonesia/Farid)
|
Beduk Tua dan Sumur Keramat
Di antara kisah yang menyertai Masjid Jami’ Peneleh, adapula cerita keberadaan beduk tua yang konon ditemukan di Sungai Kalimas.
Kayu beduk ini memiliki mitos dapat jadi obat segala penyakit.
“Katanya, dulu kayunya pernah diambil sedikit-sedikit terus buat obat. Banyak orang dari luar kota ke sini,” kata Sekretaris sekaligus Bendahara Masjid Jami’ Peneleh Ahmad Toni Samsul Hadi.
Namun, penuturan Toni, beduk ini pun ditutup selama beberapa dekade karena maraknya mitos yang beredar. Hal itu juga demi menghindari kemusyrikan di tengah masyarakat.
“Dibiarkan tidak terpakai sampai tahun 1960-an, 1970-an, biar tidak menimbulkan fitnah dan kemusyrikan,” jelasnya.
Selain kisah beduk, Masjid Jami Peneleh juga memiliki sumur tua yang konon terhubung dengan sumur Masjid Ampel dan sumur Zam-Zam di Mekah.
Meski cerita ini tak bisa diverifikasi secara ilmiah, keberadaan sumur tersebut menambah aura spiritual dan daya tarik tersendiri bagi para peziarah.
Baca halaman selanjutnya